Selasa, 18 Maret 2014

Pulau Matahari

“Ayo yang bagus dong gerakannya. Lembek banget, sih.”

Kalimat itu membuat Helen sedikit mengrenyitkan dahi. Sampai jenong yang selama ini dia banggakan seakan tidak kelihatan. Memang bukan sekali ini saja dia merasakan kerasnya kehidupan yang dia jalani. Bukan dia saja semestinya. Karena ada sekitar 20 an gadis yang sedang berusaha meraih impiannya. Impian yang bukan sekedar mimpi.

Tempat apakah ini ? Apa tempat ini tepat bagi Helen dan anak-anak lainnya mewujudkan mimpinya ? Helen pun tak akan tahu seperti apa jawaban yang mewakli pertanyaannya tadi. Bahkan, Helen yakin kalau teman-temannya tidak ada yg bisa menjawab. Tempat macam apa ini ?

Helen dan anak-anak lainnya ibarat anak ayam yang kehilangan induk. Berjuang untuk dapat merasakan nikmatnya jagung sendiri. Tanpa induk artinya kebingungan. Yang bisa mereka lakukan cuma berharap induknya datang dan membantu mereka menjalani hidup. Atau paling tidak, mereka yang mencari induknya sendiri, tapi mereka sudah tahu dimana letak induk mereka. Sebuah kepastian yang tidak pasti.

“Ma, aku capek banget nih. Badanku lemes banget.”, kata Helen ke sahabatnya, Maria. “Udah, kamu istirahat aja, len. Ga usah dipaksakan. Nanti km sendiri yang repot.” Helen masih mencoba buat ikutin irama. Tapi rasa sakit yg ada di badannya tak kunjung hilang atau mereda sekalipun. Malah semakin bertambah dan sekarang rasanya semakin mencekik. “Tapi aku takut kena semprot sensei nih. Tau sendiri kan klo udah marah. Macan aja kalah serem.” “Etdah len, km masih sempet-sempetnya bercanda. Udah, izin aja sana. Pasang wajah pucet sana.” “Apaan pasang wajah pucat. Ini aku udah pucat mukanya. Jangan di pucat-pucatin. Jadi mayat ntar aku. Hahah.” Kataku sambil berlalu meninggalkan Maria dan menuju ke Sensei.

“Sensei, aku izin istirahat dulu bisa ya. Ini lagi ga enak badan banget. Kudu muntah. Lemes banget.” Kata ku sambil pasang muka memelas. Kebangetan kalau ga di izinin, pikirku. “Iya udah, kamu istirahat aja dulu, len. Jangan terlalu dipaksain. Ntar km juga yang makin sakit. Duduk sana sudah” Kata dia sambil menunjuk ke kursi di sebelahnya. “Makasih sensei.” Aku menutup pembicaraan sambil berjalan ke kursi.

Sampai kapan aku harus seperti ini. menjemput impian tapi aku pun tak tahu, apa ini benar impianku atau impian orang lain yang sedang aku rebut. Atau bahkan, impian ini tidak pernah ada dalam otakku. “Ah, ini masih awal. Belum saatnya menyerah.” Hanya kalimat itu yang bisa mengalihkan rasa putus asaku yang selama ini terus menghantui.

Tak cuma Helen yang meringik kesakitan sebenarnya. Banyak gadis-gadis lain yang sering mengeluh kesakitan dan merasa saya harus berhenti dan blablabla. Tapi apa kita semua berhenti ? Tidak. Karena kita masih ingin mengejar impian kita. Tapi sekali lagi, impian semacam apa ini ? Dan apa ini impian kita ?

Kita menyebut tempat ini sebagai Pulau Matahari. Pulau yang akan membuat kita bersinar atau pulau yang bisa buat kita makin cantik di kegelapan layaknya rembulan di kala malam. Karena bulan tanpa adanya matahari tidak akan terlihat cantik.

Alasan lain kita masih bertahan adalah itu. Pulau Matahari. Pulau cantik yang berhasil mengumpulkan 20 an gadis remaja. Bersatu meraih mimpi yang sama. Pulau yang bersilau dari kejauhan dan bersinar dari penjuru semesta. Ya, Pulau Matahari namanya. Pulau yang hanya di isi 20 gadis-gadis remaja dan satu ketua suku. Membuat pulau ini semakin nyaman di tempati.

Tak ada keriuhan dan kemacetan dan bunyi klakson. Tak ada polusi asap kendaraan ataupun polusi dari asap pabrik. Yang ada cuma rasa nyaman yang kanan kiri jalan di pulau ini di selimuti kabut. Dingin sekali pulau ini. Tak seperti namanya memang. Pulau Matahari dengan nama Matahari yg identik dengan rasa panas, gerah, dan semua orang pasti enggan lama tinggal di pulau yang panas.

Tapi ini beda. Pulau ini sungguh indah. Banyak sekali turis-turis yang ingin datang lagi setelah sempat berkunjung ke tempat ini. “Beautiful Place.” Kata salah satu turis dari Jepang yang sempat berkunjung ke pulau ini. Bagi yang belum sempat kesini, mereka ingin kesini. Ke tempat yang orang lain yang tidak tahu apapun tentang pulau ini,ketika di kasih tahu tentang pulau ini, akan tertarik untuk datang.

Pulau ini tak pernah sepi para wisatawan. Baik wisatawan asing atau wisatawan domestik. Iya, penghuni tetap cuma 20 an orang. Tapi wisatawan yang datang tiap hari mencapai 500 orang. Pulau kecil ini serasa sesak oleh lautan manusia. Tua muda pria wanita.

Apa yang mereka lakukan di pulau ini ? Menikmati pulau ini ? Pasti. Beli marchendise ? Of course. Tapi mereka juga menikmati pertunjukkan kita. Ya, kita setiap hari harus berdiri di atas panggung untuk membuat para wisatawan merasa gembira. Kita bernyanyi menari membuat mereka senang. Kita tidak boleh mengecewakan mereka. Makanya kita setiap hari harus belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan.

Setiap malam kita harus membuat mereka keluar dari pulau ini dengan membawa perasaan senang. Setiap malam. Apa tidak capek ? Pasti. Tapi kita ikhlas menjalani itu. Demi meraih mimpi kita. Kita ? Mimpi kita? Ah, sudahlah. Mungkin itu impian satu dua orang yang harus kita lakukan agar menjadi mimpi kita bersama.

Wanita itu makhluk yang paling sensitif. Kadang secuil masalah bisa menjadi besar dan seakan dibesar-besarkan. Lalu penghuni pulau ini apa seperti itu? Jelas. Rivalitas satu penghuni dengan penghuni lain itu pasti. Mereka saling berebut simpati dari pengunjung. Apa yang mereka lakukan untuk mengalahkan rivalnya ? Menampilkan yang terbaik. Saling menjatuhkan ? Tidak pernah. “Meskipun semuanya adalah rival, tapi kita mengejar mimpi yang sama.”, kata Sandra pemimpin kita.

Helen sempat merasa kalau kehidupannya ibarat katak dalam tempurung. Terkungkung dalam ketidak pastian. Terisolasi dari kehidupan luar. Bukan karena dia tidak bisa bebas untuk hidup, tapi ada berbagai aturan yang harus di taati penghuni pulau ini.

Biasa disebut dengan Peraturan Cinta. Peraturan yang wajib ditaati seluruh penghuni pulau ini dengan alasan cinta. “Kita cinta kalian semua. Jangan mencoba menubruk peraturan ini. Peraturan ini toh juga untuk kalian semua. Agar kalian fokus mengejar mimpi kalian.”, kata sang empunya Pulau. Pulau ini ada yang punya ? Iyalaaah. Ada yang menghuni pasti ada yang punya. Siapa dia ? Investor asing yang menanamkan modalnya ke Pulau ini. Pulau ini di kelola orang asli sini tapi karena dia punya banyak bisnis, jadi dia menyerahkan pulau ini pada kita.

“Ingat, selalu senyum ramah ke pengunjung. Jangan sampai mereka kecewa sama kalian.” “Ayo Indah, mana senyumnya.” “Kamu juga Maria, matanya ikut berbicara juga dong.”

Hampir setiap haru saya dengar kalimat itu. seakan menjadi makanan sehari-hari kita semua. Jenuh itu pasti. Kadang kita bebas dan bisa sejenak mengunjungi pulau yang lain. Sejenak untuk melepas kerinduan dengan keluarga atau bisa jalan-jalan dengan teman kita diluar pulau ini.

Jangan pernah tanya apa kita punya pacar atau tidak. Beberapa punya pacar dan beberapa yang lain tidak. Boleh pacaran ? Pemilik pulau ini memberika peraturan cinta yang tadi, salah satu isinya adalah dilarang pacaran. Katanya sih biar fokus. Pacaran atau tidak, kalau pintar atur waktu, it’s not problem. Really. Indah, Maria, Hany, Giselle, dan Oca. 5 orang itu yang punya pacar. Inilah enaknya jadi wanita. Sensitif dan bisa merasakan aroma percintaan. Yang lainnya apa bersih dari percintaan ? Tidak. Helen salah satu gadis yang diam-diam menaruh hati pada salah satu pengunjung. Pengunjung tetap malah. Karena hampir tiap hari dia mampir ke pulau ini.

“Kalau aku sih, karena masih kecil jadi ga tau apa-apa sama begituan.” Kata si Yunda. Preettttt. Pacar sih ga ada, tapi gebetan itu ada. “Lebih baik mencinta dibanding dicinta.”, kata Nadia. Kalau bagi Anna, “Setiap wanita itu semua. Kita semua itu punya cinta. Semua orang juga begitu. Kita juga seorang perempuan biasa. Kuat atau tidaknya kita membendung perasaan ini aja. Kalau pertahanan hati kita kuat, aman deh. Kalau lembek, ya cupu namanya” Kata sensei kita dan sambil diiringi senyuman kecut dari lima orang yang saya sebut di atas yang sudah memiliki hubungan cinta.

Adilkah peraturan cinta yang tidak melihat perasaan cinta kita ? Demi impian kita? Preeettt.

Tak sedikit teman-teman Helen yang menyerah. Sebagian juga telah memutuskan untuk pergi dari pulau ini. Mengejar mimpi yang lain, katanya. Ada yang pergi karena dia merasa kurang bebas untuk berekspresi. Ini bukan hidup saya, katanya. Atau yang pergi karena muak dengan peraturan cinta. Sampai akhirnya kita tersisa 17 orang saja.

Sedih kehilangan teman ? Pasti. Apa tidak ingin ikut jejak mereka ? Ingin sekali, tapi berat rasanya pergi dari pulau ini, sangat berat. Pulau sederhana nan indah ini seakan memiliki magnet yang daya lekatnya sangat kuat. Sebanding dengan daya gedor Messi dan Cristiano Ronaldo kalau di sepakbola. Atau sebanding dengan daya rindu seorang Romeo terhadap Juliet.

Mereka telah pergi dari pulau ini. Pulau yang Helen pun tak berfikir sedikitpun untuk menetap. Bahkan untuk sekedar berkunjung pun, daia tak ada fikiran sama sekali. Lalu kenapa dia menjadi penunggu pulau ini. Wait, ga enak banget bahasanya penunggu. Karena dia ingin mewujudkan mimpinya. Preeettt, mimpi lagi.

Hari itu, tanggal 20 Februari yang bertepatan dengan hari Jum’at. Setelah kita menghibur para pengunjung atau sekitar jam 10 malam. “Ayo semuanya kumpul disini. Ada yang mau saya bicarakan dengan kalian semua.” Kata pemimpin Pulau Matahari yang biasa kita panggil Bang Angga sambil melambaikan tangan ke arah kita yang sedang kecapekan pasca perform. “Ada apaan sih, Len ? Aku penasaran nih. Kok kayaknya penting banget gitu ya.” Kata maria ke Helen. “Aku juga ga tau nih, Mar. Bingung juga aku. Tapi kayaknya penting banget gitu.” “Iya juga sih. Yaudah, dengerin aja dulu, Len.”
“Jadi gini, kita sudah lama sekali menghuni Pulau Matahari. Suka duka selama hampir setahun sudah kita lewati bersama. Dari yang kita ber 20 orang sampai yang sekarang tinggal 17 an orang. Pulau ini hampir jadi rumah kedua kita kan ?” Katanya sambil menatap mata kita satu per satu. Kita kompak menganggukkan kepala tanda menyetujui. Tapi Helen dan teman-temannya masih belum juga mengerti maksud dari perkataan Bang Angga itu apa. Karena masih misterius kan.

Apa Bang Angga mau keluar dari Pulau ini ? Atau Pulau ini akan di gusur ? Atau jangan-jangan. Terlalu banyak spekulasi yang muncul di pikiran. Dan belum tentu spekulasi itu benar.

“Saya yakin, Pulau ini memberikan sejuta kenangan di diri kalian. Saya bisa melihat itu dari mata kalian. Kita harus meninggalkan Pulau Matahari ini. Cepat atau lambat. Paling cepat bulan depan atau dua bulan ke depan. Kalian harus siap dan harus mulai di persiapkan. Bukan untuk membereskan perlengkapan kalian. Tapi kesiapan kalian dari dalam diri kalian.” Satu persatu teman-teman Helen mulai merubah mukanya. Dari yang awalnya penasaran sampai akhirnya sekarang berubah jadi sedih. Raut-raut kesedihan jelas tampak dari mimik muka mereka.

“Pulau ini telah menjadi kenangan indah yang akan selalu ada di hati dan aliran darah kalian. Tidak akan pernah bisa hilang. Pulau inilah yang selama hampir setahun menjadi teman hidup kalian. Menjadi pendamping kalian. Dan yang mengantar kalian hingga kalian memiliki banyak pengunjung di banding pentas yang lain. Saya akui itu.” Bang Angga melanjutkan pembicaraannya. Kita semua diam. Tanpa ada yang bisa berkata-kata sedikitpun.

Pimpinan kita, Sandra yang seharusnya menjadi orang pertama yang menanggapi ini juga diam. “Bang, kenapa kita harus pergi dari sini ? Kita di usir ? Belum bayar pajak ?” celetuk, Manda. Manda memang salah satu orang yang polos. Entah polos atau geblek. Hampir mirip soalnya. Setelah celetukan Manda tadi, suasana mulai mencair. Apalagi setelah kita ketawa semua mendengar celetukan itu.

“Hahaha, bukan Manda. Tapi karena kita sudah harus pergi. Waktu kalian di Pulau ini sudah selesai. Kalian sudah hebat dan bukan di tempat ini lagi. Level kalian sudah bukan di Pulau ini lagi. Terlalu mudah pulau ini bagi kalian. Ada pulau-pulau yang lain yang harus kalian taklukan. Kalian siap menaklukan pulau yang lain ? kata Bang Angga. Kita masih diam. “Kalian siap?” tanya nya lagi. Semua masih diam membisu. “Kalian siap atau tidak menaklukan pulau yang lain ?” Kali ini nada nya mulai meninggi. “Saya siap, bang.” Ucap Sandra sambil di ikuti teman-teman yang lain. “Kalian siap ? Jawab yang kencang.” “Siaaaappp.” “Ini yang saya suka dari kalian. Semangat kaliam yang membuat kalian menjadi seperti ini. Hebat kalian. Salut buat kalian. Tepuk tangan buat kalian semua.” Kata Bang Angga sambil mengajak kita tepuk tangan bersama.

 “Kita harus memberikan 100% dari yang kita punya untuk membahagiakan pengunjung.”
Sampai akhirnya besok adalah hari terakhir kita menjadi penghuni Pulau Matahari. Artinya hari ini kita harus beres-beres. Pasti bisa, pasti. Kita harus mempersiapkan hati kita. Untuk sekedar sehari melupakan Pulau ini saja sangat sulit. Apalagi besok, kita harus pergi meninggalkan pulau ini. “Ah, ini tidak mungkin.” Gumam Helen dalam hati.

Hari perpisahan pun tiba. Saatnya kita pergi dan bersiap menghuni Pulau yang baru. Pulau yang sama sekali kita tidak mengerti. Apa ada hewan buas ? Apa ada penghuni lain ? Atau ada rintangan yang jauh lebih sulit ? Karena kata Bang Angga, level Pulau ini jauh lebih besar dibanding Pulau Matahari. Tapi kita pasti bisa.

Para pengunjung berdatangan. Mereka membawa karangan bunga, ucapan perpisahan untuk Pulau Matahari yang kita yakin, mereka sangat merindukan Pulau Matahari. “Mereka yang sekedar berkunjung pun merindukan pulau ini, apalagi kita. Kita yang menjadi penghuni pulau ini. Ah, sulit sekali” gumam Helen lagi.

Mau tidak mau, Pulau ini harus kita tinggalkan. Akhir pertunjukkan, ada spanduk besar yang di bentangkan pengunjung yang bunyinya, “Terima Kasih Pulau Matahari. From turis pulau matahari.” Spanduk yang tentu bikin bulu kuduk merinding. Bukan karena ada hantu, tapi kita merasaan betapa besar rasa cinta mereka pada kami dan pulau ini.

Tanpa sadar tangisan kita mendampingi perpisahan ini. Kita semua yang ada di pulau ini menangis. Entah menangis sedih ataupun  menangis gembira. Tak satupun yang tahu tangisan seperti apa ini.
“Jangan menangis Helen. Jangan menangis Sandra.” Sayup sayup terdengar teriakan dari para pengunjung. Yaaaa, makin membuat tangisan kita menjadi semakin kuat.

Terima kasih Pulau Matahari. Terima kasih atas segala kenaangan indahnya. Suka duka yang bercampur menjadi satu akan selalu kita kenang. Selamat datang pulau baru. Semoga menjadi pulau yang menjadi teman terbaik bagi kami.


Terima kasih seluruh penghuni Pulau Matahari

                            


0 komentar:

Posting Komentar