Media massa di Indonesia seakan tak pernah habis berita. Kalau beberapa saat yang lalu sempat gempar berita tentang pemilihan Kapolri dan kalau ditarik lebih panjang, kasus Kapolri itu merebak setelah ada isu kriminalisasi KPK. Tapi ada yang dilupakan masyarakat dan mungkin media massa. Perlawanan gesit dan giras dari ibu-ibu dari Warga Rembang. Pemberitaan media massa tak se massive pemberitaan pemilihan Kapolri atau bahkan pemberitaan kematian salah satu komedian. Ya, saya paham kalau pemberitaan media terhadapa perlawanan keras nan giras ala ibu-ibu Rembang yang menolak pembangunan pabrik Semen tidak bisa menjual menurut media.
Dan saat ini, semua mata tertuju pada sepakbola Indonesia. Hiburan yang paling ditunggu dan di nanti ribuan orang di seantero negeri. Sepakbola Indonesia gaduh dengan keputusan Menpora, Imam Nahrowi yang membekukan PSSI. Induk tertinggi sepakbola Indonesia yang penuh dengan masalah. Sudah lama federasi yang tak berani menyentuh, ada yang berani menyentuh dan bahkan melakukan “cubitan” keras.
Sejak Menpora di pimpin Adhyaksa Dault sampai era Menpora yang terkena kasus hukum, Andi Malarangeng dan penggantinya Roy Suryo, PSSI di biarkan hidup dengan penuh luka dan borok. Menpora yang baru dengan membawa semangat dan keberanian baru berani mengobati PSSI meskipun kadang proses pengobatan menyakitkan.
Sebagai salah satu pecinta sepakbola Indonesia, saya harus bisa menguatkan hati, mata, dan keinginan untuk datang ke stadion dan berteriak memberikan semangat untuk tim idola. Saya rindu suara khas penghuni stadion. Saya rindu aroma harum khas rumput stadion. Saya rindu pemandangan indah seluruh elemen di stadion tertawa gembira selepas pertandingan selesai dan melihat tim lawan tertunduk lesu karena pulang dengan tangan hampa. Jujur, saya rindu itu. Saya rindu stadion.
Saya tak bisa membayangkan puluhan ribu orang yang nyawa nya bergantung ke sepakbola dan segala aktivitas yang melibatkan sepakbola. Dan saya mengutip kata-kata Pak Djamal Aziz anggota Exco PSSI dalam suatu kesempatan di Metro TV beberapa saat yang lalu, bahwa ada banyak orang yang merugi ketika liga berhenti. Mulai dari pelatih, pemain, tukang pijat, anak gawang, calo tiket (contoh buruk), dan mungkin yang hanya ada di stadion Gresik, ada penjual lumpia, air mineral, dll. Bayangkan puluhan ribu nyawa manusia bergantung ke sepakbola.
Kompetisi harus dan harus berjalan. Tak boleh ada penundaan lagi. Sebagai seorang suporter yang selalu berusaha datang ke stadion dan menjadikan stadion sebagai tempat rekreasi dan melepas penat, penundaan liga ibarat kehilangan tempat rekreasi dan ajang silaturahmi antar warga. Bayangkan, dari 24 jam setiap hari kita beraktivitas, kita cenderung melupakan orang sekitar. Lalu, acara apa yang bisa mengumpulkan massa sebanyak ribuan bahkan puluhan ribu dalam satu tempat ? Pertandingan sepakbola.
Dan mungkin inilah yang membuat kita secara atau tidak sadar menolak keputusan Menpora untuk membekukan PSSI. Federasi yang selama ini berjalan tanpa menghiraukan kritik, kecaman, dan arahan pemerintah dan masyarakat. Federasi yang selama ini jadi pesakitan. Federasi yang selama mampu bikin suporter di lapangan membentangkan spanduk kecaman untuk federasi. Federasi yang sejak dulu kita ingin revolusi.
Saya sebagai pecinta sepakbola Indonesia ingin sepakbola kembali seperti sedia kala. Seperti sebelum-sebelumnya. Tentu dengan penataan, organisasi, dan struktur yang lebih baru dan diharapkan lebih baik dari sebelumnya. Liga yang berjalan sesuai dengan asas Fair Play. Asas yang di dengung-dengungkan oleh bapak nya PSSI, FIFA. Liga yang berjalan dengan profesional yang tidak ada lagi alasan klub untuk menunggak gaji pemain dan pelatih. Liga yang bersih dari intervensi politik. Liga yang berjalan dengan wasit yang bersih. Liga yang berjalan dengan keputusan juara ditentukan oleh pertandingan di lapangan bukan dengan deal-deal sebelum liga berjalan. Itu baru liga yang kita inginkan.
Belum lagi federasi. Federasi harus bersih dari kepentingan politik partai dan golongan tertentu. Federasi yang tidak punya dendam politik. Federasi yang isinya orang-orang yang mengerti sepakbola dan memiliki keinginan untuk memajukan sepakbola Indonesia. Federasi yang sukses mengembalikan posisi Timnas Indonesia ke posisi asli sebagai salah satu Macan Asia, bukan sebagai Pecundang Asia. Karena hanya pecundang lah yang kalah, tunduk, dan di bokongi oleh lawan yang dulu jadi bulan-bulanan.
Kita tak bisa berharap federasi di isi oleh malaikat. Karena malaikat punya tugas yang lebih dari menjalankan federasi. Tapi kita boleh berharap federasi di isi oleh manusia berhati malaikat bukan berhati maksiat. Kita tentu ingin federasi di isi oleh manusia yang bersih, bukan manusia yang sok bersih. Kita tentu boleh bermimpi Timnas Indonesia mampu masuk Piala Dunia tahun 2022, bukan tahun 2045 seperti yang selama ini PSSI inginkan. Kita tentu boleh bermimpi salah satu klub di Indonesia mampu bermain di World Club Championship dan bertanding melawan jawara Eropa, bukan hanya menjadi penonton klub eropa bertanding. Kita tentu punya keinginan pemain Indonesia bisa bermain di Eropa seperti sebelumnya, bukan hanya melihat pemain Eropa di layar kaca Indonesia.
Kita tentu boleh bermimpi dan punya keinginan. Selama federasi dan liga masih berjalan dengan penuh luka yang federasi sendiri tak sadar akan luka itu, maka kita selamanya akan terus bermimpi dan tidak pernah terwujud. Dan ini waktu yang tepat untuk membenahi, membersihkan, menyehatkan, dan sekaligus operasi darurat untuk sepakbola Indonesia yang lebih baik.