Kopi di atas meja memanggil untuk segera dijamah. Asap dari kopi
menggebu-gebu di atas. Sambil ditunggu, ku ambil remote TV dan segera menjamah
tombol power. Kaget ketika melihat TV, masih ada konflik yang berlatarkan
agama. Otak saya berfikir, agama ini untuk mensejahterakan kehidupan di satu
sisi dan bisa merusak hubungan antar manusia di lain sisi.
Natal merupakan salah satu hari istimewa bagi umat kristiani. Di saat
natal, bisa dikatakan seperti Hari Raya Idul Fitri nya umat islam. Saat-saat
sakral di dalam kehidupan seseorang yang beragama. Kedamaian Natal yang selama
ini di dambakan oleh ummat kristiani hingga sekarang belum tercapai. Masih
banyak sekali gereja-gereja yang masih di jaga oleh aparat keamanan lengkap
dengan alat pendeteksi bom. Kejadian beberapa tahun yang lalu ternyata masih
membekas dan menimbulkan luka mendalam. Pemerintah masih takut membiarkan ummat
kristiani beribadah natal tanpa adanya penjagaan ketat dari aparat keamanan.
Paranoid yang berlebihan yang di mix dengan rasa intoleransi
menghasilkan kondisi dimana Perayaan Natal menjadi mencekam. Paranoid berlebih
yang di alami Indonesia akan kejadian bom natal dan rasa intoleransi yang di
lakukan okum biadab yang membuat ummat kristiani tidak bisa beribadah dengan
tenang ketika natal. Kasus intoleransi lainnya adalah pensegelan gereja oleh
warga sekitar. Dengan alasan mengganggu ketertiban umum, aktivitas gereja di
Bekasi di bekukan. Pemerintah yang bertindak sebagai ulil amri pun seakan diam
di tempat tak berkutik.
Toleransi dan Pluralisme merupakan pilar penting dalam membangun
demokrasi di suatu negara. Kita meyakini demokrasi sebagai sistem politik kita
tapi tidak mengadopsi demokrasi secara benar dan sesuai dengan kebutuhan.
Sesuai kebutuhan ? Ya, karena Indonesai merupakan negara yang memiliki banyak
sekali suku, agama, dan ras. Indonesia tidak hanya satu agama tapi banyak
agama. Banyaknya kelompok agama yang mementingakn keinginan pribadinya dan
mengindahkan kepentingan bersama membuat Indonesia semakin tertekan. Mereka tidak
sadar akan keberadaan agama lain di Indonesia.
Konflik horizontal yang berlatar agama pun pernah terjadi di Indonesia.
Konflik Poso misalnya. Konflik antara Islam dan kristen yang menyebabkan
teroris dari negara lain ikut membantu salah satu pihak. Dan bukan tidak
mungkin hal itu akan terjadi lagi nanti jika pemerintah sebagai ulil amri tidak
mengambil kebijakan tegas. Padahal dulu, ketika zaman Nabi Muhammad SAW, islam,
yahudi, dan kristen hidup berdampingan di Madinah. Mengapa sekarang, di zaman
yang katanya lebih modern dan lebih maju, konflik berlatar agama masih ada.
Hal ini di perparah dengan adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara islam. Banyak ormas islam yang menolak dengan tegas dengan
alasan tidak sesuai konstitusi termasuk NU. Ya, konstitusi kita memang
dirancang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang menerima
segala bentuk perbedaan. Salah satu ulama besar, KH. Sholahuddin Wahid
menyebutkan, bahwa tidak perlu menjadi negara islam, cukup menjalankan 5 sila.[1]
Kasus lain yang sempat mencuat adalah tindakan main hakim sendiri oleh
salah satu kelompok agama. Mereka merusak dan menghajar bangunan dan manusia
yang di anggap melanggar peraturan. Bahkan mereka tidak segan melakukan
pemukulan. Dia melakukan itu atas justifikasi agama. Mereka melakukan itu
karena menurut mereka, itu merupakan kewajiban mereka sebagai muslim. Di suatu
ketika, saya lupa itu kapan. Ketika itu perwakilan dari ormas islam yang ini di
undang oleh salah satu stasiun TV bersama Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Ali
Mustafa Ya’qub. Di acara itu, terlihat jelas alasan mengapa mereka melakukan
itu. Mereka memberikan salah satu hadits sebagai alasan mereka melakukan itu.
Hadits itu di tafsirkan oleh pemimpinnya, Habib Rizieq. Dan KH. Ali Mustafa
Ya’qub pun mengeluarkan buku haditsnya dan membacakan tafsiran hadits
berdasarkan salah satu ulama besar islam. Disana, KH Ali berbicara bahwa
penafsiran hadits itu baik, tapi akan menjadi malapetaka jika ditafsirkan
secara ngawur.
Madura tahun ini di gemparkan dengan kasus syiah. Konflik antara Syiah
dan Sunni pada agustus lalu, dampaknya hingga saat ini belum tuntas.
Penyerangan yang di lakukan oleh warga terhadap syiah hanya karena di anggap
sesat membuat Indonesia gempar. Karena syiah dan sunni yang sejak awal tidak
ada konflik apapun, ternyata pecah konflik di Madura. Seperti yang kita
ketahui, Maudra merupakan salah satu daerah yang memiliki pengetahuan agama
islam yang kuat. Bahkan ada anggapan bahwa warga Madura lebih nurut dengan Kyai
mereka di banding polisi. Bagaimana agama mampu mempengaruhi perilaku mereka.
Disini, tidak ada niatan saya untuk mengadu domba antar ormas islam atau
individu tertentu. Saya hanya berusaha membuka mata kita bahwa konflik
horizontal di Indonesia yang berlatarkan agama ternyata banyak terjadi. Di
negara yang katanya mengedepankan kesopanan dan kesantunan pun masih banyak
terjadi konflik. Yang lebih miris karena agama.
“Religion has itself been a form of violence in various communities”
(McTernan, 2003).[2] Disini
bukan diartikan sebagai agama merupakan bagian dari kekerasan, tapi kekerasan
yang berlatar agama.
Jadi, agama dan konflik menjadi sebuah hal yang akan selalu bertemu.
Baik itu karena salah penafsiran atau pun karena muncul provokasi yang
menjadikan saling serang. Pendidikan agama yang benar merupakan salah satu cara
mencegah konflik berlatarkan agama. Ambil kasus perbedaan penafsiran hadits
nabi yang meyebabkan ada konflik di Indonesia mengenai jihad misalnya. Bisa di
hindari asal mereka-mereka yang memiliki ilmu tidak mendahulukan egonya dan
membagi sesuatu yang benar. Lalu, pendidikan dalam keluarga pun harus di
dahulukan. Keluarga yang merupakan tempat sosialisasi pertama sebuah anak. Keluarga
pu harus mengajarkan nilai-nilai perdamaian terhadap anak.