Ultras Mania Gresik

Kita pernah juara. Gresik pernah juara. Dan sekarang "KAMI RINDU JUARA" Liga Indonesia

Roma Club Indonesia

Kami ada. Kami berpesta. Kami bersatu. Hanya untuk satu kebanggaan, AS ROMA

AS ROMA

LA ROMA NON SI DISCUTE SI AMA

Fan Fiction

Cerita fiksi untuk meluapkan ekspresi jiwa. Tentang hiburan, luapan perasaan, dan pengorbanan.

48 Family

The power of Idol. Idol can't make you horny, just can make you proud with them. Kita pecinta idol sebagaimana kita mencintai sepakbola.

Jumat, 22 Mei 2015

Tetaplah Tersenyum, Bulan

Bulan tampak semakin indah ketika ditemani ribuan bintang. Keberadaan bintang sekilas memang seperti pengiring dari bulan. Tapi kembali, bulan tanpa bintang hanya satu titik yang memancarkan cahanya sendiri. Cahaya nya menandakan ke egoisan. Tapi ketika ada bintang, langit seakan lebih indah. Bagaikan bintik-bintik putih di kertas hitam.

Mungkin bagi sebagian orang, bintik-bintik putih di kertas hitam bagaikan noda abstrak yang tak berguna. Tapi bagiku, itulah keindahan. Melihat bintang dan bulan menghiasi langit malam hari itu sebuah harta yang berharga.

Bayangkan kalau nanti sang bulan sedih dan urung muncul di malam hari. Gelap, tak indah rasanya. Bisa jadi ia sedih karena di langit, ia sedang bertengkar dengan matahari yang masih ingin menampakkan kekuatannya dan tak mau mengalah dan memberikan langit sebagai catwalk bagi seluruh penghuni langit. Bisa apa sang bulan. Ia hanya makhluk langit yang tak berdaya. Ia nampak besar dan kekar. Tapi kekuatannya tak sebesar matahari, dan bahkan ada atau tidaknya bulan tergantung dari matahari. Ia lemah, tapi punya tekad.

Hari itu, sekolah terlihat seperti apa adanya. Tak ada yang berbeda. Pelajaran membosankan seperti biasa. Kadang saya berfikir, apa semua pelajaran membosankan kayak gini ya. Atau itu cuma saya yang rasakan. Kita hanya di jejali puluhan rumus dan teori tanpa bisa melakukan pembenaran atau sekedar menyalahkan status quo yang ada.

Saya ingat, saat itu adalah 21 Mei. 17 tahun yang lalu ada Reformasi besar-besaran. Reformasi untuk mengganti status quo yang bertahan selama 32 tahun. Status quo yang dibangun dengan pondasi yang kokoh. Bagaimana tidak kokoh, pondasi nya di isi dengan aparat negara dan ancaman.

Saat itu, yang saya ingat adalah guru sejarah saya menjelaskan bahwa rezim orde baru di turunkan mahasiswa dan rakyat karena sudah tidak pro rakyat. Kata buku seperti itu. Cuma, saya tertarik dengan kejadian sebelumnya. Estafet perubahan dari orde lama ke orde baru. Ya, supersemar. Apa benar supersemar yang kita kenal dan kita pahami itu sesuai dengan kenyataan. Apa tidak ada unsur kesengajaan untuk mengganti supersemar.

Saya ingat, sejarah ditulis oleh pemenang perang. Entah itu quote siapa. Tapi, saya semakin yakin kalau sejarah Indonesia saat supersemar ditulis oleh pemenang perang. Perang ini bukan angkat senjata semata.

Ah, mata mulai ngantuk. Membosankan. Yang dijelaskan, semua ada di buku. Tidak ada satupun guru sejarah yang berani mengatakan yang sebenarnya terjadi. Bagaimana kekejaman rezim sebelumnya dan bagaimana suksesi dari Orde lama ke orde baru.

Posisi duduk ku di sisi meja guru tapi d belakang sendiri. Entah kenapa cowok selalu punya kebanggaan pas mampu mengamankan posisi duduk paling belakang. Kayak bisa dapatkan cewek idola di sekolah.

Kucoba memalingkan muka ke satu sudut ruangan kelas. Sampai akhirnya mata ini berhenti melakukan petualangan dan berhenti di satu orang. Namanya Bulan. Bukan cewek populer di sekolah. Cuma cewek ceria yang kebetulan menghiasi hari-hariku.

Bulan mungkin beda dengan kebanyakan. Dia tak cuma mengandalkan parasnya yang elok untuk sekedar menjalin hubungan pertemanan. Dia bukan minyak dalam pusaran air yang dengan sombongnya menolak untuk bergabung dengan air menyatukan kekuatan. Ia adalah madu. Yang rela menyatu dengan air dan menghilangkan warna aslinya, hanya untuk memberikan rasa manis. Dia itu bagaikan mutiara di dasar laut. Kalau belum diasah, tampak biasa saja. Kalau sudah diasah, tak ternilai lagi harganya.

Ya, itulah Bulan. Gadis ceria yang mencairkan suasana dengan celotehan lucu nan menggemaskannya. Bulan bukanlah cewek yang pintar di kelas. Cuma, ia rajin dan tak punya rasa takut untuk menjadi maju. Jangan heran kalau ia mampu masuk 10 besar di kelas. 

Beberapa minggu berselang, ada yang aneh dari Bulan. Ia yang ceria mendadak murung. Senyumnya yang murah bahkan di diskon itu pun seakan menjadi mahal dan enggan untuk di lepaskan. Aneh pikirku.

Saya, meskipun mengidolakan Bulan, tak ada keberanian untuk sekedar mendekat. Rasa malu ku mengalahkan keinginan ku. Lemah memang. Tapi inilah aku dengan segala kekurangannya.

“Bin, ngerasa ada yang aneh gak sih dari si Bulan ?”, tanyaku ke teman sekelasku yang dekat sama Bulan. Bintang namanya. “Iya nih, aku juga bingung dia kenapa. Murung mulu kerjaannya.”, jawab Bintang. “Padahal kemarin-kemarin itu dia ketawa ketiwi gitu sama anak-anak. Eh, sekarang murung gak jelas gini.”, lanjut Bintang. Fyi, Bintang ini teman masa kecil Bulan. Banyak yang bilang kalau ada Bintang pasti ada Bulan. Jadi, minimal Bulan cerita masalahnya ke Bintang. Tapi Bintang sendiri kaget. Aneh.

Hari itu anomali bagiku. Tak sesuai kebiasaan yang sudah digariskan tuhan. Bulan sedih itu menyalahi aturan yang sudah di buat tuhan. Kadang saya mikir, apa tuhan sengaja menurunkan Bulan dari surga untuk menceriakan kesedihan. Kalau itu benar, hari ini adalah hari dimana Bulan manyalahi aturan.

Di rumah, rasa penasaranku semakin membuncah. Otak ku berasa di isi oleh larva yang kapanpun bisa meledak. Yang kandungan larva nya adalah semua tentangmu, Bulan. Sampai ku putuskan besok harus berani. Sekedar say hello dan kalau bisa tanya kabar dan kenapa dia berani menyalahi aturan tuhan untuk bersedih.

Esoknya, terjadi seperti biasa. Daun berguguran. Bukan, ini bukan Bunga Sakura yang gugur. Tapi daun pohon mangga di depan sekolah yang hampir tiap hari memberikan pekerjaan buat penjaga sekolah.

Ah, itu Bulan, kata ku dalam hati. Kaki ku otomatis berhenti seketika Bulan lewat depan. “Hai Angga.”, sapa Bulan padaku. “Hai juga lan. Sehat ?”, jawabku. Duh, pertanyaan bodoh macam apa itu. “Baik kok ngga. Duluan yo. Ditunggu Bintang soalnya. Bye.”, jawab Bulan.

Tak terasa air asin meluncur deras dari atas kepala menelusuri seluruh badan. Dari hulu ke hilir. Mungkin keringat sudah tahu waktu kapan dia harus keluar. Semacam BOT twitter yang sudah tahu kapan harus muncul.

Pelajaran dimulai dan aura negatif sudah mengelilingi guru ku yang berdiri di depan. Entah, selalu bosan kalau pelajaran matematika. Mungkin ini alasanku milih IPS daripada IPA. Tak ada penyesalan sama sekali pas pilih IPS daripada IPA.

Bel istirahat berbunyi. Bulan masih sama seperti kemarin. Ia tak banyak omong. Sekedar melayani sapaan orang. Padahal biasanya ia punya segudang topik yang ingin dibagi ke orang banyak. Atau bisa bikin perut teman-temannya kesakitan karena ketawa. Ya, itulah Bulan yang dulu.
Entah setan apa yang merasuki otak ku. Aku ajak Bulan keluar kelas dan ngobrol di luar kelas. Rasa malu dan keringat yang biasanya keluar sesuai jadwal, terasa hilang dan mengerti kondisi yang punya badan.

“Bulaaaannn, mau ngobrol nih. Sharing gitu. Boleh kan ?”, tanyaku ke Bulan. “Eh iya silahkan Ngga. Ada apa toh. Kok kayaknya penting gitu. Baru putus sama ceweknya ya.”, tanyanya nyerocos sambil makan permen. Ah, ini Bulan yang dulu. Banyak ngomong. Kadang ngeselin tapi ngangenin. Itulah Bulan.

“Eh cewek apaan sih. Orang gak punya cewek alias single, bukan jombl.”, kataku. Dia ketawa sambil jitak kepala ku. “Dasar Angga si raja gombal. Ga mau di bilang jomblo tapi single. Sama aja geblek. Hahaha.”, jawab nya. Entah, hati ku mulai senang. Dia tak lagi cemberut.

“Gini gini lan, kamu kenapa sih ? Kok kemarin-kemarin cemberut terus. Ada masalah apa ?”, tanyaku. Bulan sontak kaget mendengar pertanyaanku yang mungkin menohok. “Lah aku kenapa ngaa ? Aku biasa aja kok.”, jawabnya ngeles. “Bohong banget kalau kamu biasa aja. Jangan bohong lah. Aku tahu kamu ada masalah. Kamu jadi aneh ih. Suka diem sendiri, murung sendiri. Ga suka ah aku.”, kataku.

Bulan diam sebentar. “Hahah, kamu lebay ngga. Suer aku ga ada masalah kok. Cuma malas aja buat ketawa-ketawa. Hahaha. Aku aneh ya ngga.”, jawabnya sambil ketawa. “Iya kamu aneh kalau sedih murung gitu. Kamu ya yang suka ketawa dan bikin ceria. Aneh tau gak.”, ketusku. “Ih, Angga kok marah-marah sih. Takut ah. Hahaha.”, jawabnya sambil muka nya sok ketakutan.

“Bukan apa-apa lan, ada banyak orang yang rindu celotehan dan sikap mu yang lucu itu. Kamu gak sadar kan kalau banyak yang bisa ketawa karena tingkah mu.”, kataku. “Kalau boleh jujur, aku salah satu orang yang rindu sama tingkah lucu menggelikan mu. Meskipun kadang menjijikan. Hahah.”, kataku sambil ketawa. “Heh, jahat. Menjijikkan katanya. Marah nih. Hahaha.”, katanya sambil pukul tanganku.

“Eh serius. Ada yang aneh pas suasana kelas jadi sunyi senyap dan garing. Yang selama ini bisa menghidupkan suasana kan Cuma kamu. Aku yakin, banyak yang ngerasa aneh.” “Aku gak pengen tahu alasanmu. It’s your privacy. Cuma, aku pengen kamu tahu aja kalau ada banyak orang yang terbiasa hidup dengan celotehanmu dan merindukan tingkah lucumu.”, kataku.

Ia diam sejenak. “Iya sih ngga. Aku akhir-akhir ini merasa kalau aku agak murung. Tapi santai ya. Aku sudah baikan kok. I will make you and my friend cries caused me. Ahaha.”, jawabnya sambil ketawa lepas.

Bel masuk sudah berbunyi. Entah gonjalan yang sempat ada di hati seakan menghilang. Lega rasanya. Seluruh kegelisahan sudah tersampaikan. Meskipun saya tak tahu alasan dia murung. Asalkan dia kembali tersenyum, itu luar biasa.

Di mataku, Bulan itu sebagai pelengkap sekaligus pemeran utama dalam cerita kehidupanku. Tanpa Bulan, hidupku sepi. Mungkin ini yang dirasakan teman-teman yang lain. Bulan sukses menorekan bintik putih di kertas hitam perjalanan hidupku. Tetaplah menjadi Bulan yang menyinari semua orang di kegelapan malam. Tetaplah tersenyum, Bulan.