Aku benci dengan
orang yang suka marah. Aku benci dengan kemarahan.
Saat itu hari pertama masuk perguruan tinggi. Perguruan
tinggi yang sejak lama aku inginkan. Salah satu unggulan di jawa timur. Ada
kewajiban untuk ospek saat itu. Cuma, karena memang aku malas untuk ikut hal
yang menurutku tidaklah penting. Hanya melihat rektor cuap-cuap bilang hal
normatif dan bikin kuping dan perut jadi panas.
Saat itu aku putuskan untuk sekedar duduk di sekitaran
kampus. Disitulah aku bertemu dengan dia. Saat itu aku lihat dia duduk sambil
memegang kamera DSLR. Entah apa dia memang ada passion disitu atau cuma ikut apa kata trend. Dia mengamati
sesuatu. Aku tak terlalu jelas apa yang sedang ia amati.
Rasa penasaranku menang dan rasa malu pun hilang. Aku
beranikan diri menyapa. “Hai.” Kataku. Dia diam saja sambil terus mengamati
sesuatu yang saat aku lihat ternyata seekor kupu-kupu. Kupu-kupu itu terbang.
Dia berbalik ke arahku. “Ah, kan kupu-kupu nya terbang. Kamu sih.”, jawabnya
sambil muka yang sedikit marah.
“Eh, maaf. Aku ga tahu kalau kamu lagi lihat
kupu-kupu. Maaf banget.” Kataku sambil menjulurkan tangan, tanda penyesalan. Dia
diam sejenak. “Halo. Minta maaf ya.” Kataku sambil tangan aku arahkan ke muka
nya. “Eh jangan sok akrab deh. Iya aku maafkan. Pergi sana.” Katanya sambil
mengusir ku.
Hari itu berakhir sampai disitu. Iya, berakhir dengan
sebuah perintah untuk pergi. Baru kali ini aku merasa sebuah kata “pergi” jadi
begitu menyesakkan.
Kuliah hari pertama pun di mulai. Kuliah di minggu
pertama hanya di isi dengan perkenalan. Hanya itu. Bosan rasanya. Durasi kuliah
pun cuma 15-20 menit. Kata abangku sih normal. Minggu pertama katanya. Cuma
kontrak kuliah. Bahas pembagian nilai dan penentuan ketua kelas. Oh iya, aku
ambil jurusan Ilmu Politik. Ada beberapa mata kuliah yang saya harus sekelas
dengan teman satu jurusan, dan ada beberapa yang lintas jurusan.
Aku ingat, saat itu mata kuliah Bahasa Indonesia. Mata
kuliah lintas jurusan tapi masih dalam satu fakultas, Fisip. Saat itu teman
satu jurusanku hanya beberapa saja yang sekelas denganku. Sebut saja Ikha,
Dina, Andro, dan 5 orang lain yang jujur aku ga tahu siapa mereka. Mereka
selalu bersama macam becak sama tukang becaknya.
Mataku melirik salah satu pojok kelas. Aku merasa ada
yang aneh. Mungkin familiar. Lagi-lagi aku penasaran. Aku coba mendekat dan
baam. Itu gadis yang sempat membentakku. Yang sempat menyuruhku pergi pas
ospek.
Eh tapi kenapa dia malah mendekat. Aku gugup dan coba
duduk di bangku paling depan. Jarang aku duduk di bangku depan. Kalau ga karena
aku gugup aja ini. Dia melihat ke arahku. “Aku boleh duduk di sini ?” katanya
sambil menunjuk ke bangku sebelah. “Eh iya silahkan.” Jawabku. Sejenak aku
terdiam. Anak ini yang dulu sempat membentakku. Lalu sikap dia sekarang dingin
banget. Aneh ini anak, pikirku dalam hati.
Kuliah berakhir dengan cepat (padahal sangat cepat).
Aku bosan. Aku ingin pulang tapi rasanya malas di rumah. Belum sempat mikir mau
pulang atau enggak, tiba-tiba ada tangan yang memegang pundakku, sambil berkata
“Hei, sibuk kah ? Ke kantin yuk.” Aku menoleh. Kaget, ternyata dia gadis yang
tadi. “Eh, anu. Eh anu.” Kataku terbata-bata. “Anu apa. Ayo ke kantin. Mau gak
? Aku yang traktir deh.” Katanya lagi. “Eh anu. Eh iya. Ayo deh. Ga usah di
traktir tapi.” Jawabku. “Udah, santai aja. Anggap aja sebagai permintaan maaf
yang kemarin.”, katanya sambil meraih tanganku. Dia menyeretku keluar. Gilanya,
aku nurut aja.
Duduklah kita di meja di kantin. Dia pesan batagor 2
porsi sama teh 2 porsi. Aku yang traktir jadi aku yang milih makanan, katanya.
Dia mulai buka pembicaraan.”Eh iya, aku Grace anak Komunikasi.” Katanya sambil
menjulurkan tangannya ke arahku. “Eh iya aku Vito, anak Politik.” Jawabku
sambil menyalami tangannya. Pembicaraan kita jauh banget. “Ah maaf ya, kemarin
aku marah sama kamu. Aku baru pertama kali lihat kupu-kupu. Makanya aku pengen
tahu lebih jelas. Mau aku foto sih, cuma kamu ganggu. Kabur deh dia.” Katanya
sambil wajah yang mulai memelas. Lucu deh sebenarnya. Mukanya bisa berubah
drastis. Dari yang dulu marah-marah sekarang melas. “Eh iya, santai aja. Aku ga
tahu kalau kamu lagi lihat kupu-kupu.”, kataku.
Aku lihat dia mengeluarkan buku kecil. Semacam note
gitu. Ah, mungkin dia anak sibuk. Selalu tulis kegiatan. Obrolan kita berakhir
pas dia di telfon seseorang. Sudah dijemput katanya. “Itu pacarmu ?” tanyaku
berani. “Bukan, itu supir. Aku ga boleh bawa mobil sendiri sama papa. Makanya supir
jemput. Aku balik duluan ya. Sampai ketemu minggu depan.” Katanya sambil pergi.
Dini, mulai masuk ke dalam setiap lembaran cintaku.
Bukan Grace. Iya, Grace memang sedang ada di dalam cerita persahabatanku. Bukan
cinta. Aku mulai merasakan ada sesuatu dari Dini yang selama ini aku cari.
Bukan kacamata, bukan parasnya. Tapi sekali lagi, aku malu. Dini nampak begitu
jauh. Melihatnya dari jauh, nampak begitu indah.
Bukan tak pernah aku mendekatinya. Hanya mendekatinya
dari kejauhan. Bukan mendekati kehidupannya. Pemuja rahasia, kalau kata Duta
SO7. Tapi ini lebih dari itu. Lebih parah maksdunya. Sikap acuh mu, pancarkan
keindahan. Memandangmu dari kejauhan, nampak menyenangkan. Melihatmu tak
melihatku, sungguh menyakitkan. Namun, yang menyakitkan pun seakan bersahabat
denganku. Ya, ketika kamu mengabaikanku, anugerah buatku.
Dan Grace, selalu ada. Pernah suatu ketika Grace
curiga denganku. Pancaran mataku mengatakan kalau aku sedang bingung. Dan Grace
dengan mudah memahami itu. Antara malu tapi ingin meluapkan semuanya padanya.
Tapi Grace selalu punya cara untuk meyakinkanku mencertiakan kegundahan hatiku.
Ya, dia mengerti emoticon yang terpancar dari dalam hati.
Tapi Grace kali ini beda. Dia nampak aneh. Tak seperti
biasanya. Ia seakan acuhkanku. Bahkan ketika aku coba mendekat, dia bingung dan
bertanya, “Kamu siapa ?” Sungguh sebuah pertanyaan yang cukup membuat tubuh
kaku berdiri. Ada apa dengan dia ? Apa ada salah ? Dia berbeda. Tapi, ada satu
hal yang tidak berubah. Marah. Dia selalu marah. Ingat saat dia bertanya, aku
siapa ? Dia lakukan itu dengan marah.
Dan aku benci itu. Aku masih benci mereka yang mudah
marah.
Aku bingung lagi. Tiba-tiba Grace kembali dekat
denganku. Kata-kata “Kamu Siapa” yang sempat di ucapkan, seakan tak pernah
terjadi. Aneh, sungguh aneh.
Aku sering main ke rumahnya. Bahkan, orang tuanya
sampai kenal akrab denganku. Katanya, baru aku temannya yang pernah masuk ke
rumah. Istimewa ? Ga juga. Karena aku ga merasa. Hahah, sombong sekali.
Dia minta tolong diajarkan cara menulis novel yang
baik dan benar. Susah, karena aku pun cuma penulis lepas di LKM kampus. Bukan
orang yang tepat, pikirku. Tapi dia ngotot minta tolong padaku. Sampai
akhirnya, aku kenalkan dia ke temanku yang aku pikir dia lebih ahli. Dita
namanya. Jurusan sastra. Anaknya telaten, sabar, dan satu lagi, dia ternyata
teman satu sekolah Grace ketika SMA. Cuma, mereka berdua jarang bahkan tak
pernah saling ngobrol. Aneh, pikirku.
Mereka makin akrab. Artinya, hidupku tak lagi diganggu
sama marahnya Grace. Kadang, aku kasihan sama Dita, apa jadinya dia kalau
setiap hari setiap saat si Grace marah. Untungnya, Dita anaknya sabar. Bahkan
bagi kawan-lawan LKM, Dita ini ibu nya anak-anak. Istri-able.
Handphone ku bunyi. Ada sms rupanya. Dari Grace. Dia
pamer, kalau dia sudah bisa bikin mini novel. “Eh kebo, novel ku udah jadi lho.
Gak mau baca ?”, tanyanya padaku lewat sms. “Mau baca dong. Pasti jelek.
Hahah.” Jawabku. “Nanti ya, tunggu saatnya. Eh, jelek-jelek gini ini real story
ya. Aku bilangin Dita lho. Kan dia yang bantu aku.”, Jawabnya.
Seminggu setelah itu, Dita ajak aku ketemuan. Penting
katanya. “Oke, aku tunggu di cafe deket kos mu deh ya. Jam 7 malam. Jangan
telat. Telat traktir. Hahah.” Kataku lewat sms.
“Nih, novelnya Grace. Jangan dibuka dulu. Grace mau,
buku ini dibuka pas hari ulang tahunmu.”, katanya sembari menyerahkan bukunya
padaku. “Oh ini yang dia buat sama kamu ? Wait, kamu kok jadi akrab banget sama
dia. Kuat sama dia ?”, tanyaku. “Iya yang dia buat sendiri. Aku cuma bantu
dikit banget. Dia anaknya baik. meskipun emosi nya gampang naik turun. Labil
sih. Tapi, aku yakin kamu juga sabar orangnya. Hahaha.”, katanya sambil ketawa.
Ya, kia berdua akhirnya tertawa bersama. “Oh iya, ada surat dari Grace juga.
Buka nya nanti pas kamu mau baca novel ini. Aku ga tahu apa isinya. Janji
dibuka pas ulang tahunmu ya.”, katanya. “Oke, janji.”
Ulang tahunku kurang dua hari lagi. Atau 12 Desember.
Hari ini Grace harusnya kuliah. Tapi sudah seminggu aku ga lihat dia di kampus.
Ada yang aneh, pikirku. Dia pernah janji, akan datang pas ulang tahunku. Dia
pernah janji akan rayakan ulang tahun bareng. Dia orang yang selalu menepati
janji, pasti.
Karena curiga, aku datang ke rumahnya. Kosong. Tak ada
satupun prang di rumahnya. Satpam yang biasa jaga di depan pun gak ada. Kosong.
Ku coba hubungi dia pun sama, nihil.
Ulang tahunku pun tiba. Kosong. Perasaanku kacau. Aku
mulai marah sama dia. Dia ternyata orang yang ingkar janji, pikirku.
Tok tok tok, suara pintu rumah ada yang ngetuk. Semoga
itu Grace. Tapi yang datang Dita. Aku kaget, ada Dini. Dia yang selama ini jadi
objek delusi bersih saya sekarang ada di depan mata. Dia masuk ke rumah. Mereka
bawa sebuah roti. Mereka membawa kado. Tapi yang kumau cuma satu,Grace.
Dita suruh aku baca surat dari Grace dan buka
novelnya. Berdebar hatiku. Berasa ada yang aneh. Memang. Mata mulai
berkaca-kaca. Dini pun sama, dia terlihat gemetar, pun dengan Dita.
Dear Vito.
Ini sahabatmu,
Grace. Selamat ulang tahun teman, sahabat, saudara beda orang tua. Semoga
panjang umur (jangan sepertiku) dan semoga sukses (jangan sepertiku). Mohon
maaf, Grace tidak bisa hadir di pesta ulang tahunmu. Grace ada urusan lain di
tempat lain. Tapi yakin deh, Grace selalu ada di samping, di depan, dan di belakangmu.
Vito, disana ada Dini kan ? Cewek yang kamu suka ? Kamu seneng gak ? Cewek yang
kamu suka ada disaat kamu ultah. Heheh. Itu kejutan dari aku, lho. Hanya itu
sih yang aku bisa kasih buat kamu. Oh ya, novel, Cepat dibaca novel dariku ya.
Jangan lupa. Di sebelahmu ada Dita juga kan ? Sampaikan terima kasihku
untuknya. Terima kasih atas segala kebaikan dan kesabarannya bantu aku.
Eh Vit, sebenarnya
ada yang mau aku kasih tahu. Aku orangnya penvcemburu ulung. Mungkin aku tidak
ekspresif orangnya. Cemburuku selalu tertutupi dengan rasa maluku. Ya, aku sama
kan kayak kamu. Pemalu dan pencemburu ulung. Tapi, aku bisa jujur lho. Aku
jujur ke Dini kalau aku cemburu padanya. Aku cemburu, kenapa bukan aku yang ada
di hatimu. Kenapa bukan aku yang kamu cinta. Kenapa bukan aku dan kenapa bukan
aku. Jangan bayangkan wajahku saat nulis ini, ya. Jelek banget.
Oh ya, karena aku
sudah jujur, kamu juga dong. Jujur ke Dini kalau kamu suka sama dia. Bilang ya.
Jangan dipendam. Kasihan nanti bisa jadi batu ginjal. Kan sakit hahaha.
Terima kasih atas
semuamuamuamuanya Vit. Aku ga yakin, di tempat ini di tempat baru ini aku akan
menemukan teman sahabat saudara sepertimu. Orang pertama yang bisa bikin mimpi
ku lebih berwarna. Orang yang bisa bikin aku bersemangat untuk bangun dari
tidur malamku. Tapi maaf, kali ini aku tak kuat bangun dari tidur panjangku. I
love You, Muhammad Vito Setiawan.
Antara bingung dan sedih. “Apa ini. Apa maksudnya dit
din. Apa maksud surat ini. Dia pindah rumah kan ? Dia kenapa dit din.” Tanyaku
pada mereka. Tak ada jawaban. “Hei kalian, tolong jawab.” Bentakku padanya.
Dini mulai menangis. Dita menyuruhku duduk dan diam. Kita bertiga duduk. Dita
menceritakan semuanya. Dia menyuruhku diam mendengarkan tanpa komentar apapun.
“Jadi kamu ingat kenapa Grace selalu bawa notes kecil
kan ? Itu memang sengaja. Katanya, biar aku bisa ingat hal indah selama aku
masih bisa hidup. Aku kaget, Vit. Serius. Maksudnya apa. Kamu tahu isi novel
itu tentang apa ? Itu true story. Tentang dia dan kamu. Isinya adalah cerita hari-hari
kalian yang ada di dalam notes yang dia punya. Notes yang ada hubungannya sama
kamu beda warnanya. Ada logo hati di dalamnya. Katanya sebagai kenangan berdua.
Dia kena kanker otak stadium akhir. Dokter prediksi umur dia tidak lama lagi.
Bahkan, dia bisa merasakan dengan kasih surat dan novel itu, jauh sebelum kamu
ulang tahun. Hebatnya, dia bisa meyakinkan Dita untuk datang ke rumahmu hari
ini. Padahal, dia baru bisa meyakinkan Dita seminggu yang lalu atau sehari
sebelum dia pergia dari rumah. Orang tuanya pindah rumah. Agar kamu tidak
datang lagi. Atas permintaan Grace. Dia tak ingin kamu selalu ingat padanya.”,
katanya. Aku cuma bisa diam. Badan seakan tersambar listrik. Mati.
“Dan aku, datang kesini untuk Grace dan untuk kamu.
Dan roti ini, itu yang beli Grace. Yang minta desainnya Grace. Semua Grace yang
atur. Aku dan Dita cuma ikut apa kata Grace. Ini permintaan terakhir Grace
sebelum dia meninggal. Yang ia ingat cuma kamu. Bukan yang lain.”, kata Dini.
Perkataan dini makin buatku sedih.
“Terima kasih kalian telah baik sama Grace.
Terimakasih telah kabulkan permintaan terakhir Grace sebelum meninggal. Dita,
terima kasih bantu dia selesaikan novel. Dini, terima kasih sudah mau datang
kesini dan menuruti apa kata Grace. Tapi, aku cuma mau Grace. Aku cinta sama
Grace. Dini, aku tahu aku suka sama kamu. Cuma aku suka kamu abaikanku. Bukan
memilikimu. Aku ga bisa. Aku cuma mau miliki Grace.”, kataku pada mereka.
Diam. Sunyi. Sepi.
Aku benci dengan
orang yang suka marah. Aku benci dengan kemarahan. Dan aku rindu dengannya yang
suka marah. Aku rindu dengan kemarahannya. Aku rindu kamu, Grace. Aku rindu
kamu marah lagi. Aku rindu semua tentangmu. Novelku sudah jadi, lho. Judulnya
Grace. Iya judulnya itu namamu. Ceritanya tentangmu. Tentang kamu yang buat aku
tampak bodoh dihadapan cewek. Kalau sempat, datang ke mimpi. Aku rindu kamu.
Aku sayang kamu, Grace. semoga senang di kehidupan barumu.