Pepatah mengatakan buah tak jatuh jauh dari pohon.
Buah yang jatuh dari pohon akan jatuh di sekitar pohon tersebut. Tak mungkin
buah yang jatuh dari pohon mangga akan jatuh di bawah pohon toge.
Pepatah tersebut menggambarkan adanya kemiripan
antara orang tua dengan anaknya. Baik kemiripan dalam hal muka atau wajah,
bahkan dalam hal sifat dan kesukan atau hobi. Seorang ayah yang hobi memancing
biasanya anaknya akan hobi mancing pula. Atau kalau sang ayah suka sepakbola,
biasanya akan menurun ke anaknya. Yang berbeda adalah kadar dari kesukaan
tersebut.
Orang tua akan sedikit malu-malu untuk menunjukkan
kesukaannya karena memang faktor umur. Tetapi ketika sudah di hadapkan pada
kondisi yang mengharuskan mereka untuk menjalankan kesukaannya, maka unsur
“malu” tadi akan hilang dengan sendirinya.
Dan itu terjadi di keluarga saya. Ayah saya adalah
penggila sepakbola. Bahkan dulu katanya pemain sepakbola amatir di kampungnya.
Mewakili daerahnya berlaga di liga amatir. Untung itu terjadi dulu, karena
kalau sampai sekarang ayah saya masih bermain bola, saya pastikan itu mustahil.
Dengan memikul beban berat di perutnya, sungguh tak enak hati melihatnya.
Melihat perutnya bergunjang layaknya gempa vulkanik.
Saya berani bilang kalau ayah saya adalah penggila
bola, karena buktinya banyak. Pertama, beliau adalah katanya pemain sepakbola
amatir. Entah itu sebagai pemain inti atau sebagai pemanis bangku cadangan.
Lalu, ketika era Persegres masih ada atau sekitar 20 an tahun yang lalu, beliau
pernah ikut tour ke daerah-daerah di Jawa Timur. Ketika masih muda sih. Kalau
pas udah punya anak, bisa di sembur ibu ntar.
Bahkan beliau bilang kalau pernah naik truk demi
dukung Persegres. Sekali lagi, itu terjadi dulu kawan. Jangan di bayangkan
kalau saat ini ayah saya seperti itu lagi. Perutnya akan menahan beliau untuk
naik. Gak muat. Kasihan suporter yang lain gak kebagian tempat nanti.
Dan itu menurun ke saya. Iya ke saya, anak cowok
satu-satunya di keluarga. Anak yang pada ulang tahun ke 8 tahun nya minta hadiah
jersey sepakbola. Anak yang bisa bikin ibu saya ngidam liat PSIS Semarang di
Stadion Jatidiri. Anak yang pas di Tri Dharma keinginannya biar bisa di gendong
sama Carlos De Melo, pemain yang berbadan seperti ayah saya. Menurun ke saya
yang pernah naik truk ketika tour dan tawuran ketika tour. Ke saya yang pernah
jadi calo tiket sepakbola.
Hal-hal yang berbau sepakbola sepertinya sudah saya
lakukan semua. Mulai dari pemain dan suporter. Pemain ? Yes, I Do. Itu terjadi
pas perut saya belum seperti ini atau tepatnya ketika SD di Jakarta. Masuk SSB
Arcici. SSB juara di Jakarta. Tapi putus di tengah jalan karena kabur pas ada
tes fisik. Dan saya juga ikut lomba sepakbola antar RW se kelurahan pas di
jakarta, tepatnya di Johar Baru. Gila kan saya. Gak juga sih.
Jadi suporter, kenyang pengalaman saya. Dari
suporter tim di stadion bahkan jadi suporter di tempat nobar. Dari stadion di
Gresik sampai di Gelora Bung Karno pun pernah. Gelora Bung Karno jadi saksi
bisu gelar perdana Gresik era Petrokimia Putra Gresik 2001-2002. Menjadi
suporter yang naik truk pun pernah meskipun harus menyusahkan banyak pihak
karena harus menyanggah badan saya yang gemulai ini. Gemulai itu gendut hasil
memuai. Jadi suporter yang pulangnya pas sahur pun pernah. Bahkan jadi suporter
yang terkena lemparan batu pas terjadi bentrokan pun pernah. Di Bantul pas
Gresik United melawan Persiba Bantul.
Seperti yang saya bilang di atas, kalau ketika para
orang tua dihadapkan di saat kondisi dimana dia harus berada di sebuah hal yang
ia sukai, maka unsur malu-malu akan hilang. Dan itu terbukti di Stadion Minggu
malam, 18 Mei 2014. Ketika Gresik United melawan Semen Padang.
Kalian tahu anak kecil yang gembira ketika dapat
permen ? Tahu ekspresi kegembiraannya kan. Dan itu yang di alami ayah saya saat
itu. Semua beban di pikirannya seakan hilang. Dengan lega dia bilang, “Kangen
suasana stadion.” Cukup menggambarkan bagaimana senangnya ayah saya saat itu.
Hal yang sudah hampir 5 tahun tidak beliau rasakan.
Yang bikin saya kaget adalah ketika beliau bilang,
“Asik yo stadion sekarang. Makin kreatif. Enak paling ya berdiri di tribun
tengah (sambil menunjuk ratusan orang berdiri dan bernyanyi).” Sama sekali
tidak terbayangkan di pikiran saya kalau ternyata ayah saya juga suka menjadi
suporter yang ikut bernyanyi dan menari di atas tribun. Sontak saya sadar, “Oh
jadi saya duplikat beliau.”
Like Father Like Son. Pepatah yang sangat
menggambarkan kemiripan saya dan ayah saya. Saya bangga punya ayah seperti
beliau. Jangan lihat dari apa yang beliau berika ke saya, karena itu tak
ternilai harganya. Tetapi saya bangga karena punya ayah yang suka sepakbola
daripada suka girlband ataupun idol group. Wait, tapi anakmu ini suka idol
group yah. Menurun dari siapa dong hobi saya itu ? J
0 komentar:
Posting Komentar