Kamis, 12 Februari 2015

Marahmu Rinduku

Aku benci dengan orang yang suka marah. Aku benci dengan kemarahan.

Saat itu hari pertama masuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang sejak lama aku inginkan. Salah satu unggulan di jawa timur. Ada kewajiban untuk ospek saat itu. Cuma, karena memang aku malas untuk ikut hal yang menurutku tidaklah penting. Hanya melihat rektor cuap-cuap bilang hal normatif dan bikin kuping dan perut jadi panas.

Saat itu aku putuskan untuk sekedar duduk di sekitaran kampus. Disitulah aku bertemu dengan dia. Saat itu aku lihat dia duduk sambil memegang kamera DSLR. Entah apa dia memang ada passion disitu atau cuma ikut apa kata trend. Dia mengamati sesuatu. Aku tak terlalu jelas apa yang sedang ia amati.

Rasa penasaranku menang dan rasa malu pun hilang. Aku beranikan diri menyapa. “Hai.” Kataku. Dia diam saja sambil terus mengamati sesuatu yang saat aku lihat ternyata seekor kupu-kupu. Kupu-kupu itu terbang. Dia berbalik ke arahku. “Ah, kan kupu-kupu nya terbang. Kamu sih.”, jawabnya sambil muka yang sedikit marah.

“Eh, maaf. Aku ga tahu kalau kamu lagi lihat kupu-kupu. Maaf banget.” Kataku sambil menjulurkan tangan, tanda penyesalan. Dia diam sejenak. “Halo. Minta maaf ya.” Kataku sambil tangan aku arahkan ke muka nya. “Eh jangan sok akrab deh. Iya aku maafkan. Pergi sana.” Katanya sambil mengusir ku.

Hari itu berakhir sampai disitu. Iya, berakhir dengan sebuah perintah untuk pergi. Baru kali ini aku merasa sebuah kata “pergi” jadi begitu menyesakkan.

Kuliah hari pertama pun di mulai. Kuliah di minggu pertama hanya di isi dengan perkenalan. Hanya itu. Bosan rasanya. Durasi kuliah pun cuma 15-20 menit. Kata abangku sih normal. Minggu pertama katanya. Cuma kontrak kuliah. Bahas pembagian nilai dan penentuan ketua kelas. Oh iya, aku ambil jurusan Ilmu Politik. Ada beberapa mata kuliah yang saya harus sekelas dengan teman satu jurusan, dan ada beberapa yang lintas jurusan.

Aku ingat, saat itu mata kuliah Bahasa Indonesia. Mata kuliah lintas jurusan tapi masih dalam satu fakultas, Fisip. Saat itu teman satu jurusanku hanya beberapa saja yang sekelas denganku. Sebut saja Ikha, Dina, Andro, dan 5 orang lain yang jujur aku ga tahu siapa mereka. Mereka selalu bersama macam becak sama tukang becaknya.

Mataku melirik salah satu pojok kelas. Aku merasa ada yang aneh. Mungkin familiar. Lagi-lagi aku penasaran. Aku coba mendekat dan baam. Itu gadis yang sempat membentakku. Yang sempat menyuruhku pergi pas ospek.

Eh tapi kenapa dia malah mendekat. Aku gugup dan coba duduk di bangku paling depan. Jarang aku duduk di bangku depan. Kalau ga karena aku gugup aja ini. Dia melihat ke arahku. “Aku boleh duduk di sini ?” katanya sambil menunjuk ke bangku sebelah. “Eh iya silahkan.” Jawabku. Sejenak aku terdiam. Anak ini yang dulu sempat membentakku. Lalu sikap dia sekarang dingin banget. Aneh ini anak, pikirku dalam hati.

Kuliah berakhir dengan cepat (padahal sangat cepat). Aku bosan. Aku ingin pulang tapi rasanya malas di rumah. Belum sempat mikir mau pulang atau enggak, tiba-tiba ada tangan yang memegang pundakku, sambil berkata “Hei, sibuk kah ? Ke kantin yuk.” Aku menoleh. Kaget, ternyata dia gadis yang tadi. “Eh, anu. Eh anu.” Kataku terbata-bata. “Anu apa. Ayo ke kantin. Mau gak ? Aku yang traktir deh.” Katanya lagi. “Eh anu. Eh iya. Ayo deh. Ga usah di traktir tapi.” Jawabku. “Udah, santai aja. Anggap aja sebagai permintaan maaf yang kemarin.”, katanya sambil meraih tanganku. Dia menyeretku keluar. Gilanya, aku nurut aja.

Duduklah kita di meja di kantin. Dia pesan batagor 2 porsi sama teh 2 porsi. Aku yang traktir jadi aku yang milih makanan, katanya. Dia mulai buka pembicaraan.”Eh iya, aku Grace anak Komunikasi.” Katanya sambil menjulurkan tangannya ke arahku. “Eh iya aku Vito, anak Politik.” Jawabku sambil menyalami tangannya. Pembicaraan kita jauh banget. “Ah maaf ya, kemarin aku marah sama kamu. Aku baru pertama kali lihat kupu-kupu. Makanya aku pengen tahu lebih jelas. Mau aku foto sih, cuma kamu ganggu. Kabur deh dia.” Katanya sambil wajah yang mulai memelas. Lucu deh sebenarnya. Mukanya bisa berubah drastis. Dari yang dulu marah-marah sekarang melas. “Eh iya, santai aja. Aku ga tahu kalau kamu lagi lihat kupu-kupu.”, kataku.

Aku lihat dia mengeluarkan buku kecil. Semacam note gitu. Ah, mungkin dia anak sibuk. Selalu tulis kegiatan. Obrolan kita berakhir pas dia di telfon seseorang. Sudah dijemput katanya. “Itu pacarmu ?” tanyaku berani. “Bukan, itu supir. Aku ga boleh bawa mobil sendiri sama papa. Makanya supir jemput. Aku balik duluan ya. Sampai ketemu minggu depan.” Katanya sambil pergi.

Dini, mulai masuk ke dalam setiap lembaran cintaku. Bukan Grace. Iya, Grace memang sedang ada di dalam cerita persahabatanku. Bukan cinta. Aku mulai merasakan ada sesuatu dari Dini yang selama ini aku cari. Bukan kacamata, bukan parasnya. Tapi sekali lagi, aku malu. Dini nampak begitu jauh. Melihatnya dari jauh, nampak begitu indah.

Bukan tak pernah aku mendekatinya. Hanya mendekatinya dari kejauhan. Bukan mendekati kehidupannya. Pemuja rahasia, kalau kata Duta SO7. Tapi ini lebih dari itu. Lebih parah maksdunya. Sikap acuh mu, pancarkan keindahan. Memandangmu dari kejauhan, nampak menyenangkan. Melihatmu tak melihatku, sungguh menyakitkan. Namun, yang menyakitkan pun seakan bersahabat denganku. Ya, ketika kamu mengabaikanku, anugerah buatku.

Dan Grace, selalu ada. Pernah suatu ketika Grace curiga denganku. Pancaran mataku mengatakan kalau aku sedang bingung. Dan Grace dengan mudah memahami itu. Antara malu tapi ingin meluapkan semuanya padanya. Tapi Grace selalu punya cara untuk meyakinkanku mencertiakan kegundahan hatiku. Ya, dia mengerti emoticon yang terpancar dari dalam hati.

Tapi Grace kali ini beda. Dia nampak aneh. Tak seperti biasanya. Ia seakan acuhkanku. Bahkan ketika aku coba mendekat, dia bingung dan bertanya, “Kamu siapa ?” Sungguh sebuah pertanyaan yang cukup membuat tubuh kaku berdiri. Ada apa dengan dia ? Apa ada salah ? Dia berbeda. Tapi, ada satu hal yang tidak berubah. Marah. Dia selalu marah. Ingat saat dia bertanya, aku siapa ? Dia lakukan itu dengan marah.

Dan aku benci itu. Aku masih benci mereka yang mudah marah.

Aku bingung lagi. Tiba-tiba Grace kembali dekat denganku. Kata-kata “Kamu Siapa” yang sempat di ucapkan, seakan tak pernah terjadi. Aneh, sungguh aneh.

Aku sering main ke rumahnya. Bahkan, orang tuanya sampai kenal akrab denganku. Katanya, baru aku temannya yang pernah masuk ke rumah. Istimewa ? Ga juga. Karena aku ga merasa. Hahah, sombong sekali.

Dia minta tolong diajarkan cara menulis novel yang baik dan benar. Susah, karena aku pun cuma penulis lepas di LKM kampus. Bukan orang yang tepat, pikirku. Tapi dia ngotot minta tolong padaku. Sampai akhirnya, aku kenalkan dia ke temanku yang aku pikir dia lebih ahli. Dita namanya. Jurusan sastra. Anaknya telaten, sabar, dan satu lagi, dia ternyata teman satu sekolah Grace ketika SMA. Cuma, mereka berdua jarang bahkan tak pernah saling ngobrol. Aneh, pikirku.

Mereka makin akrab. Artinya, hidupku tak lagi diganggu sama marahnya Grace. Kadang, aku kasihan sama Dita, apa jadinya dia kalau setiap hari setiap saat si Grace marah. Untungnya, Dita anaknya sabar. Bahkan bagi kawan-lawan LKM, Dita ini ibu nya anak-anak. Istri-able.

Handphone ku bunyi. Ada sms rupanya. Dari Grace. Dia pamer, kalau dia sudah bisa bikin mini novel. “Eh kebo, novel ku udah jadi lho. Gak mau baca ?”, tanyanya padaku lewat sms. “Mau baca dong. Pasti jelek. Hahah.” Jawabku. “Nanti ya, tunggu saatnya. Eh, jelek-jelek gini ini real story ya. Aku bilangin Dita lho. Kan dia yang bantu aku.”, Jawabnya.

Seminggu setelah itu, Dita ajak aku ketemuan. Penting katanya. “Oke, aku tunggu di cafe deket kos mu deh ya. Jam 7 malam. Jangan telat. Telat traktir. Hahah.” Kataku lewat sms.

“Nih, novelnya Grace. Jangan dibuka dulu. Grace mau, buku ini dibuka pas hari ulang tahunmu.”, katanya sembari menyerahkan bukunya padaku. “Oh ini yang dia buat sama kamu ? Wait, kamu kok jadi akrab banget sama dia. Kuat sama dia ?”, tanyaku. “Iya yang dia buat sendiri. Aku cuma bantu dikit banget. Dia anaknya baik. meskipun emosi nya gampang naik turun. Labil sih. Tapi, aku yakin kamu juga sabar orangnya. Hahaha.”, katanya sambil ketawa. Ya, kia berdua akhirnya tertawa bersama. “Oh iya, ada surat dari Grace juga. Buka nya nanti pas kamu mau baca novel ini. Aku ga tahu apa isinya. Janji dibuka pas ulang tahunmu ya.”, katanya. “Oke, janji.”

Ulang tahunku kurang dua hari lagi. Atau 12 Desember. Hari ini Grace harusnya kuliah. Tapi sudah seminggu aku ga lihat dia di kampus. Ada yang aneh, pikirku. Dia pernah janji, akan datang pas ulang tahunku. Dia pernah janji akan rayakan ulang tahun bareng. Dia orang yang selalu menepati janji, pasti.

Karena curiga, aku datang ke rumahnya. Kosong. Tak ada satupun prang di rumahnya. Satpam yang biasa jaga di depan pun gak ada. Kosong. Ku coba hubungi dia pun sama, nihil.

Ulang tahunku pun tiba. Kosong. Perasaanku kacau. Aku mulai marah sama dia. Dia ternyata orang yang ingkar janji, pikirku.

Tok tok tok, suara pintu rumah ada yang ngetuk. Semoga itu Grace. Tapi yang datang Dita. Aku kaget, ada Dini. Dia yang selama ini jadi objek delusi bersih saya sekarang ada di depan mata. Dia masuk ke rumah. Mereka bawa sebuah roti. Mereka membawa kado. Tapi yang kumau cuma satu,Grace.

Dita suruh aku baca surat dari Grace dan buka novelnya. Berdebar hatiku. Berasa ada yang aneh. Memang. Mata mulai berkaca-kaca. Dini pun sama, dia terlihat gemetar, pun dengan Dita.

Dear Vito.
Ini sahabatmu, Grace. Selamat ulang tahun teman, sahabat, saudara beda orang tua. Semoga panjang umur (jangan sepertiku) dan semoga sukses (jangan sepertiku). Mohon maaf, Grace tidak bisa hadir di pesta ulang tahunmu. Grace ada urusan lain di tempat lain. Tapi yakin deh, Grace selalu ada di samping, di depan, dan di belakangmu. Vito, disana ada Dini kan ? Cewek yang kamu suka ? Kamu seneng gak ? Cewek yang kamu suka ada disaat kamu ultah. Heheh. Itu kejutan dari aku, lho. Hanya itu sih yang aku bisa kasih buat kamu. Oh ya, novel, Cepat dibaca novel dariku ya. Jangan lupa. Di sebelahmu ada Dita juga kan ? Sampaikan terima kasihku untuknya. Terima kasih atas segala kebaikan dan kesabarannya bantu aku.
Eh Vit, sebenarnya ada yang mau aku kasih tahu. Aku orangnya penvcemburu ulung. Mungkin aku tidak ekspresif orangnya. Cemburuku selalu tertutupi dengan rasa maluku. Ya, aku sama kan kayak kamu. Pemalu dan pencemburu ulung. Tapi, aku bisa jujur lho. Aku jujur ke Dini kalau aku cemburu padanya. Aku cemburu, kenapa bukan aku yang ada di hatimu. Kenapa bukan aku yang kamu cinta. Kenapa bukan aku dan kenapa bukan aku. Jangan bayangkan wajahku saat nulis ini, ya. Jelek banget.
Oh ya, karena aku sudah jujur, kamu juga dong. Jujur ke Dini kalau kamu suka sama dia. Bilang ya. Jangan dipendam. Kasihan nanti bisa jadi batu ginjal. Kan sakit hahaha.
Terima kasih atas semuamuamuamuanya Vit. Aku ga yakin, di tempat ini di tempat baru ini aku akan menemukan teman sahabat saudara sepertimu. Orang pertama yang bisa bikin mimpi ku lebih berwarna. Orang yang bisa bikin aku bersemangat untuk bangun dari tidur malamku. Tapi maaf, kali ini aku tak kuat bangun dari tidur panjangku. I love You, Muhammad Vito Setiawan.

Antara bingung dan sedih. “Apa ini. Apa maksudnya dit din. Apa maksud surat ini. Dia pindah rumah kan ? Dia kenapa dit din.” Tanyaku pada mereka. Tak ada jawaban. “Hei kalian, tolong jawab.” Bentakku padanya. Dini mulai menangis. Dita menyuruhku duduk dan diam. Kita bertiga duduk. Dita menceritakan semuanya. Dia menyuruhku diam mendengarkan tanpa komentar apapun.

“Jadi kamu ingat kenapa Grace selalu bawa notes kecil kan ? Itu memang sengaja. Katanya, biar aku bisa ingat hal indah selama aku masih bisa hidup. Aku kaget, Vit. Serius. Maksudnya apa. Kamu tahu isi novel itu tentang apa ? Itu true story. Tentang dia dan kamu. Isinya adalah cerita hari-hari kalian yang ada di dalam notes yang dia punya. Notes yang ada hubungannya sama kamu beda warnanya. Ada logo hati di dalamnya. Katanya sebagai kenangan berdua. Dia kena kanker otak stadium akhir. Dokter prediksi umur dia tidak lama lagi. Bahkan, dia bisa merasakan dengan kasih surat dan novel itu, jauh sebelum kamu ulang tahun. Hebatnya, dia bisa meyakinkan Dita untuk datang ke rumahmu hari ini. Padahal, dia baru bisa meyakinkan Dita seminggu yang lalu atau sehari sebelum dia pergia dari rumah. Orang tuanya pindah rumah. Agar kamu tidak datang lagi. Atas permintaan Grace. Dia tak ingin kamu selalu ingat padanya.”, katanya. Aku cuma bisa diam. Badan seakan tersambar listrik. Mati.

“Dan aku, datang kesini untuk Grace dan untuk kamu. Dan roti ini, itu yang beli Grace. Yang minta desainnya Grace. Semua Grace yang atur. Aku dan Dita cuma ikut apa kata Grace. Ini permintaan terakhir Grace sebelum dia meninggal. Yang ia ingat cuma kamu. Bukan yang lain.”, kata Dini. Perkataan dini makin buatku sedih.

“Terima kasih kalian telah baik sama Grace. Terimakasih telah kabulkan permintaan terakhir Grace sebelum meninggal. Dita, terima kasih bantu dia selesaikan novel. Dini, terima kasih sudah mau datang kesini dan menuruti apa kata Grace. Tapi, aku cuma mau Grace. Aku cinta sama Grace. Dini, aku tahu aku suka sama kamu. Cuma aku suka kamu abaikanku. Bukan memilikimu. Aku ga bisa. Aku cuma mau miliki Grace.”, kataku pada mereka.

Diam. Sunyi. Sepi.

Aku benci dengan orang yang suka marah. Aku benci dengan kemarahan. Dan aku rindu dengannya yang suka marah. Aku rindu dengan kemarahannya. Aku rindu kamu, Grace. Aku rindu kamu marah lagi. Aku rindu semua tentangmu. Novelku sudah jadi, lho. Judulnya Grace. Iya judulnya itu namamu. Ceritanya tentangmu. Tentang kamu yang buat aku tampak bodoh dihadapan cewek. Kalau sempat, datang ke mimpi. Aku rindu kamu. Aku sayang kamu, Grace. semoga senang di kehidupan barumu.

0 komentar:

Posting Komentar