Kamis, 24 Desember 2015

Merawat Ingatan Tentangmu, Bunda

Pertama, izinkan saya untuk mengucapkan ini: Innalilahi wa innailihirajiun. Turut berduka cita atas kepergiaan Bunda. Bunda orang baik, dan saya percaya, orang baik akan ditempatkan di tempat yang baik pula oleh Allah.
Bunda. Ya, saya menyebut beliau dengan sebutan itu. Sampai saat ini, saya tak tahu nama panggilan Bunda. Yang saya tahu, saya tetap menyebutmu bunda. Ya, sampai saat ini. Sampai saat di mana saya tak tahu kalau bunda sudah tenang di surga.
Tak begitu banyak kenangan yang melekat di ingatan saya. Terlebih karena bunda, memang jarang ku temui. Ketika saya bertandang dan bahkan numpang makan di rumah. Bunda memiliki kesibukan yang menurut saya, itu super sibuk.
Ada kesamaan yang saya lihat dari bunda dan ibu saya di rumah. Selain keduanya sama-sama memiliki anak yang hebat, keduanya adalah pengayom keluarga yang selalu bekerja keras demi anaknya.
Meskipun begitu, keduanya juga memiliki perbedaan. Ibuku di rumah adalah seorang yang memberikan seratus persen tenaganya di rumah. Mengurus rumah dan membesarkan kami, anak-anaknya. Dan bunda, beliau berada di perantauan. Setidaknya itu saya ketahui ketika menjemput beliau di Jombang.
Tapi dari perbedaan itulah, saya merasakan keindahan seorang ibu. Saya belajar dari keduanya. Intinya, kedua ibu ini adalah ibu yang hebat. Titik.
Saya mencoba membawa kenangan saya, sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Mencoba mengembalikan lagi kepingan-kepingan memori yang sempat menghilang. Dan saya mencoba merasakan merdunya suara bunda saat itu. Di saat saya mencoba semua itu, saya melihat wajah cantik bunda terpampang jelas di dalam mata.
Memang, kami tak begitu banyak bicara. Selain karena bunda jarang ada di rumah, tetapi karena ada perasaan yang susah disebutkan apa namanya. Alhasil, saya lebih sering bercanda dengan Mami. Mami dari bunda.
Meskipun begitu, masih melekat dalam ingatan, pesan bunda padaku. “Jaga Ageng, ya.” Pesan yang terucap ketika melepas kami bertiga, bersama Diana saat itu, sedang les di Kampung Inggris, Pare. Bisa jadi itu pesan terakhir yang bunda berikan. Pesan yang terucap empat tahun yang lalu.
Iya bun, saya menjaga Ageng. Atau bisa dikatakan Ageng yang menjaga saya. Atau kita saling menjaga.
Sesaat sepulang dari Pare, semua keadaan berubah. Semua kebahagiaan yang terjalin, tiba-tiba berubah menjadi buruk. Entah apa yang salah saat itu. Hingga akhirnya, saya tak lagi berhubungan dengan Ageng dan keluarga.
Saya ibarat terhipnotis untuk menjauh dan pergi menjauhi bunda sekeluarga. Bahkan ke mami sekalipun. Padahal sebelumnya, saya begitu dekat dengan keluarga ini. Saya menyesal? Tidak. Pada awalnya. Tapi penyesalan ini muncul setelah saya tahu kabar berpulangnya bunda.
Saya mendengar berita berpulangnya bunda tepat tiga bulan ketika bunda telah menemui tuhan. Dan bagi saya itu adalah sebuah kesalahan. Bukan bermaksud menghardik perpisahan dan segala kejadian yang membuat keadaan begitu buruk. Tapi mengetahui kabar duka tiga bulan pasca kejadian, itu adalah hal yang sangat menyakitkan.
Ah iya, bun. Ada salah satu yang mengganjal hati. Yang seharusnya saya ungkapkan sejak lama. Sejak bunda masih sehat wal afiat dan berdiri tegak. Ganjalan yang sampai saat ini begitu susah diungkapkan. Ganjalan yang bisa jadi bunda sudah tahu ini tentang apa.
Bun, saya suka dengan anak bunda. Anak pertama bunda yang bunda selalu banggakan. Entahlah apa bunda membaca surat ini. Yang pasti, saya sudah mengatakan perasaan saya sejujurnya.
Tulisan ini bukan untuk membangkitkan ingatan dan kenangan tentang bundamu. Tulisan ini hanya pelampiasan kekesalan. Tentu karena saya abai denganmu dan keluargamu. Hingga akhirnya saya tidak tahu kabar duka itu.
Semoga bunda membaca ini di surga. Bahwa saya, Alief Maulana dan keluarga, meminta maaf kalau selama ini saya pernah melakukan kesalahan ke bunda dan ke keluarga bunda. Sekali lagi, bunda orang baik. Sudah sepantasnya bunda mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah. Selamat tinggal, bunda!


0 komentar:

Posting Komentar