Pertama, izinkan
saya untuk mengucapkan ini: Innalilahi wa innailihirajiun. Turut berduka cita
atas kepergiaan Bunda. Bunda orang baik, dan saya percaya, orang baik akan
ditempatkan di tempat yang baik pula oleh Allah.
Bunda. Ya, saya menyebut beliau dengan sebutan itu. Sampai
saat ini, saya tak tahu nama panggilan Bunda. Yang saya tahu, saya tetap
menyebutmu bunda. Ya, sampai saat ini. Sampai saat di mana saya tak tahu kalau
bunda sudah tenang di surga.
Tak begitu banyak kenangan yang melekat di ingatan
saya. Terlebih karena bunda, memang jarang ku temui. Ketika saya bertandang dan
bahkan numpang makan di rumah. Bunda memiliki kesibukan yang menurut saya, itu
super sibuk.
Ada kesamaan yang saya lihat dari bunda dan ibu saya
di rumah. Selain keduanya sama-sama memiliki anak yang hebat, keduanya adalah
pengayom keluarga yang selalu bekerja keras demi anaknya.
Meskipun begitu, keduanya juga memiliki perbedaan. Ibuku
di rumah adalah seorang yang memberikan seratus persen tenaganya di rumah. Mengurus
rumah dan membesarkan kami, anak-anaknya. Dan bunda, beliau berada di
perantauan. Setidaknya itu saya ketahui ketika menjemput beliau di Jombang.
Tapi dari perbedaan itulah, saya merasakan keindahan
seorang ibu. Saya belajar dari keduanya. Intinya, kedua ibu ini adalah ibu yang
hebat. Titik.
Saya mencoba membawa kenangan saya, sekitar empat atau
lima tahun yang lalu. Mencoba mengembalikan lagi kepingan-kepingan memori yang
sempat menghilang. Dan saya mencoba merasakan merdunya suara bunda saat itu. Di
saat saya mencoba semua itu, saya melihat wajah cantik bunda terpampang jelas
di dalam mata.
Memang, kami tak begitu banyak bicara. Selain karena
bunda jarang ada di rumah, tetapi karena ada perasaan yang susah disebutkan apa
namanya. Alhasil, saya lebih sering bercanda dengan Mami. Mami dari bunda.
Meskipun begitu, masih melekat dalam ingatan, pesan
bunda padaku. “Jaga Ageng, ya.” Pesan yang terucap ketika melepas kami bertiga,
bersama Diana saat itu, sedang les di Kampung Inggris, Pare. Bisa jadi itu
pesan terakhir yang bunda berikan. Pesan yang terucap empat tahun yang lalu.
Iya bun, saya menjaga Ageng. Atau bisa dikatakan Ageng
yang menjaga saya. Atau kita saling menjaga.
Sesaat sepulang dari Pare, semua keadaan berubah. Semua
kebahagiaan yang terjalin, tiba-tiba berubah menjadi buruk. Entah apa yang
salah saat itu. Hingga akhirnya, saya tak lagi berhubungan dengan Ageng dan
keluarga.
Saya ibarat terhipnotis untuk menjauh dan pergi
menjauhi bunda sekeluarga. Bahkan ke mami sekalipun. Padahal sebelumnya, saya begitu
dekat dengan keluarga ini. Saya menyesal? Tidak. Pada awalnya. Tapi penyesalan
ini muncul setelah saya tahu kabar berpulangnya bunda.
Saya mendengar berita berpulangnya bunda tepat tiga
bulan ketika bunda telah menemui tuhan. Dan bagi saya itu adalah sebuah
kesalahan. Bukan bermaksud menghardik perpisahan dan segala kejadian yang membuat
keadaan begitu buruk. Tapi mengetahui kabar duka tiga bulan pasca kejadian, itu
adalah hal yang sangat menyakitkan.
Ah iya, bun. Ada salah satu yang mengganjal hati. Yang seharusnya saya ungkapkan sejak lama. Sejak bunda masih sehat wal afiat dan berdiri tegak. Ganjalan yang sampai saat ini begitu susah diungkapkan. Ganjalan yang bisa jadi bunda sudah tahu ini tentang apa.
Bun, saya suka dengan anak bunda. Anak pertama bunda yang bunda selalu banggakan. Entahlah apa bunda membaca surat ini. Yang pasti, saya sudah mengatakan perasaan saya sejujurnya.
Ah iya, bun. Ada salah satu yang mengganjal hati. Yang seharusnya saya ungkapkan sejak lama. Sejak bunda masih sehat wal afiat dan berdiri tegak. Ganjalan yang sampai saat ini begitu susah diungkapkan. Ganjalan yang bisa jadi bunda sudah tahu ini tentang apa.
Bun, saya suka dengan anak bunda. Anak pertama bunda yang bunda selalu banggakan. Entahlah apa bunda membaca surat ini. Yang pasti, saya sudah mengatakan perasaan saya sejujurnya.
Tulisan ini bukan untuk membangkitkan ingatan dan
kenangan tentang bundamu. Tulisan ini hanya pelampiasan kekesalan. Tentu karena
saya abai denganmu dan keluargamu. Hingga akhirnya saya tidak tahu kabar duka
itu.
Semoga bunda membaca ini di surga. Bahwa saya, Alief
Maulana dan keluarga, meminta maaf kalau selama ini saya pernah melakukan
kesalahan ke bunda dan ke keluarga bunda. Sekali lagi, bunda orang baik. Sudah sepantasnya
bunda mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah. Selamat tinggal, bunda!
0 komentar:
Posting Komentar